Kamis, 26 Februari 2015

Ladang Mata Pencaharian



Matahari mulai sepenggal naik. Perahu kecil tidak bermesin atau lazim disebut Jukung milik penduduk Pekon (kampung) Pasar mulai berdatangan satu persatu. Menepi menuju pelabuhan tidak berbeton. Pelabuhan tidak bernama namun begitu berarti bagi sekitar lima ratus masyarakat Pekon Pasar Pulau Pisang Kabupaten Pesisit Barat dalam menggantungkan hidupnya.

              
Dari kejauhan perahu biru milik seorang nelayan berbadan gemuk mulai menepi. Susah payah lelaki tengah baya dengan topi usang berwarna putih itu mengayuh dayung. Melawan besarnya deburan ombak selat Pulau Pisang setinggi tiga meter. Dari seberang pelabuhan Pekon Pasar, empat orang nelayan lain yang menunggu di pelabuhan mulai mendekat kebibir pantai. Menanti kedatangan jukung lelaki itu. Setelah hampir menepi, nelayan tersebut membantu menepikan jukung dengan mengangkatnya ke pinggiran pantai.

Pagi itu, nasib tidak berpihak pada Suharen (50). Setelah hampir 10 jam di tengah Samudera Hindia, mengail senar, mengulurkan mata pancing di kedalaman Samudera ikan besar tidak juga menyambar umpan ikan kecil yang dipasangnya. Ikan Marlin atau sering disebut masyarakat ini sebagai Iwa Tukhu memang menjadi incaran besar para nelayan. Mata kail Suharen hanya disambar ikan tenggiri kecil berukuran tigapuluh sentimeter, jumlahnya tak lebih dari sepuluh ekor.

Suharen
begitu kecewa, begitu pula nelayan yang membantu menarik Jukung Suharen. Mereka berharap mendapat bagian seekor ikan hasil pancingan Lukman pagi itu. Tradisi nelayan masyarakat Pulau Pisang memang selalu membagi ikan kepada nelayan lain yang membantu menarik jukung. Namun, karena Lukman tidak mendapat hasil nelayan yang banyak maka dengan berbesar hati mereka menerima.

Mak dapok ngebagi yu, mansa ne cutik (tidak bisa membagi ya, dapatnya sedikit),” ujar Lukman dengan Bahasa Lampung Pesisir yang memang menjadi bahasa sehari-hari masyarakat di Pulau ini.

Hasil tangkapan Lukman dua ekor dibawa pulang, sisa hasil nelayannya ditimbang kepada penampung. Beratnya tak lebih dari lima kilogram. Hasil nelayannya hanya dibayar limabelas ribu perkilogram. Uang hasil menjual ikan tangkapannya itulah dibawa pulang untuk menghidupi anak dan istrinya.

Berbeda dengan Lukman, Keberuntungan sedang berpihak pada nelayan lain bernama Suntori (40). Suntori berhasil memancing Iwa Tukhu berukuran besar. Beratnya mencapai 45 kilogram. Suntori membawa ikan besar bersayap ungu itu kepenampung. Menjual satu-satu nya ikan yang didapatnya dari tengah Samudera Hindia seharga duapuluh tiga ribu rupiah perkilogram.

Pesona Ratusan Lumba - Lumba di Pulau pisang (Pesisir Barat)




POPULASI ikan lumba-lumba yang berada di kawasan Pesisir Barat terjaga dan menjadi daya tarik bagi wisata bahari daerah tersebut. Hal itu dikemukan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Pesisir Barat, Nata Djudin Amran, di krui .

           Dia menjelaskan, sebagian besar masyarakat pesisir menjaga kelestarian populasi ikan tersebut.
Menurut dia, potensi jelajah bahari menjadi pilihan bagi wisatawan asing maupun domestik yang berkunjung di Pesisir Barat untuk menikmati ratusan lumba-lumba di perairan tersebut.
"Saya meyakini panorama laut yang indah itu mampu memberikan kontribusi besar terhadap kunjungan wisatawan asing dan domestik pesisir, dan terlihat hampir setiap harinya para turis itu menikmati kawanan lumba-lumba yang muncul di kawasan laut tersebut," kata dia.
Ditambahkan, wisata bahari di Pesisir Barat belum terkelola dengan baik, dan menjadi peluang investasi bagi investor.
Kabupaten Lampung Barat memiliki berbagai potensi lokal yang layak untuk dikembangkan, kawasan pesisir Lampung Barat juga kaya akan potensi wisata bahari di mana terdapat dua pulau yang dapat dijadikan ekowisata bahari, yakni Pulau Betuah dan Pulau Pisang.
Dua pulau tersebut diketahui terdapat ratusan ribu ikan lumba-lumba. Terjaganya populasi ikan tersebut disebabkan larangan masyarakat untuk menangkap ikan lumba-lumba sehingga populasi ikan ini meningkat setiap tahunnya.
Ketinggian Ombak
Keelokan panorama laut memberikan penawaran bagi wisatawan asing dan domestik untuk menjelajah di perairan pesisir barat, sehingga kegiatan tersebut sebagai sarana rekreasi dan pengetahuan.
Kawasan pesisir juga memiliki ketinggian ombak mencapai 5 meter dan panjang gelombang 200 meter.
Tanjung Setia menjadi salah satu pantai dengan ombak tertinggi di dunia. Setiap tahunnya tidak kurang dari 100 ribu wisatawan asing yang berasal dari Australia, Portugal, Belanda, Jepang dan Amerika berkunjung ke pantai ini untuk melakukan aktivitas surfing.
Sementara itu, Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri mengatakan, pemerintah akan memberikan kesempatan bagi pihak investor mengelola potensi bahari di Lampung Barat.
"Kami akan memberikan kemudahan bagi investor untuk mengembangkan kawasan bahari pesisir Lampung Barat. Keindahan yang dimiliki menawarkan peluang usaha sektor pariwisata," kata Bupati menambahkan.
"Saya berharap pemerintah pusat membantu pesisir barat dalam mengembangkan pariwisata di kawasan pesisir ini, daerah ini dapat dijadikan tujuan wisata nasional dan internasioanl dan menjadi kebanggaan bagi Indonesia.

Tenun Tapis dan Benang emas tak lekang tergerus zaman



SinjangTapis
Salah satu tradisi Way Sindi yang dibawa ke Pulau Pisang adalah sinjang atau kain tapis. Kain berwarna dasar merah ini adalah ciri khas marga Way Sindi yang juga berkembang di Pulau Pisang.
Salah satu motif Kain Tapis
Dalam catatan sejarah yang dipegang Zafrullah, pada abad ke-12, saat Krui berada di bawah kekuasan Inggris, warga Way Sindi sudah terkenal sebagai pembuat tapis.
"Asal mula tapis Pulau Pisang mencontoh kain songket Palembang. Kain dasar itu diberi benang emas. Karena di masyarakat Pulau Pisang akrab dengan perahu, corak awal kain tapis di sini bermotif perahu," kata Zafrullah, Sabtu (13-1).
Beda di daerah Sukau. Masyarakat Sukau menjadikan gajah sebagai corak tapis. "Dulu kan di sana banyak gajah. Sampai sekarang corak sinjang tumpal tapis yang dipakai dalam setiap acara adat ada: kapal dan gajah," ujar Zafrullah.
Tapis mulai masuk bagian adat, ujar Zafrullah, pada pertengahan abad ke-19. Saat itu, tapis mulai dikembangkan di kawasan Krui. Pemakaian tapis diresmikan dengan prosesi ighau di Olokpandan sekitar tahun 1835.
Dari sini, kata Zafrullah, lahir aturan pemakaian tapis dalam setiap acara adat. "Tapis diselempangkan di bahu. Saibatin diselempangkan di bahu kiri, anak buah di kanan. Ini untuk membedakannya," ujar Zafrullah.
Sekarang warna dasar tapis terus berkembang. Tidak cuma merah, hitam kini jadi pilihan yang banyak digemari.

Selasa, 24 Februari 2015

Menikmati Pesona Pulau Pisang


Eksotisme Pulau Pisang tak juga hilang meski kini cengkih mulai berkembang lagi pulau ini. Pantai yang jernih, debur ombak, dan pasir putih adalah alam yang menebar keeksotisan pulau. Anak-anak kecil berlarian telanjang di pantai, bercengkerama lalu memecah ombak, adalah kehidupan bocah-bocah pantai yang jauh dari sergapan video game dan play station. Mereka berteriak ketika ada "orang asing" mendekat. Tak jarang mereka juga menutup muka lalu membalikkan badan telanjangnya ketika "orang asing" mengangkat kamera: Jpprreeet! Jpprreeet! Jpprreeet!!

Pulau Pisang, Inilah Pulau Pisang; pulau seluas 2.310 hektare yang berada di Kecamatan Pesisir Utara, Lampung Barat. Pulau ini berpenduduk seribuan orang. Dulu, sebelum 1980, penduduk pulau ini lebih tiga ribu. Mereka tersebar di enam pekon: Labuhan, Lok, Sukadana, Pasar, Sukamarga, dan Bandardalam. Pulau Pisang (Banana Island) adalah pulau yang indah dengan pantainya dikelilingi pasir putih. Pulau ini termasuk wilayah Kecamatan Pesisir Utara Krui Pugung Tampak, Lampung Barat.

Alam dan kehidupan warga Pulau Pisang adalah eksotisme itu sendiri. Di pulau kecil ini, kita bisa merasakan kekhasan hidup yang merujuk pada tata budaya Marga Pulau Pisang. Di pulau ini, warga beberapa pekon hidup dalam keteraturan sosial yang merujuk pada konstruksi budaya marga Way Sindi di Olokpandan.

Dikisahkan Zafrullah Khan gelar Dalom Kemala Raja, sebelum Inggris masuk Krui, marga Way Sindi yang tinggal di Olokpandan semakin besar. Saat itu, marga Way Sindi dipimpin Saibatin Pangeran Simbangan Ratu.

Pertambahan penduduk menuntut perluasan wilayah untuk tempat tinggal. Pangeran Simbangan Ratu pun memerintah Udin dari marga Tenumbang melihat kondisi Pulau Pisang. Dari survei itu, Udin melaporkan pada Saibatin kalau Pulau Pisang dapat dijadikan permukiman.

Rombongan marga Way Sindi masuk Pulau Pisang dipimpin Mail gelar Raja Pesirah gelar Pangeran Sangun Ratu. Ia anak kedua Pangeran Simbangan Ratu, adik Syatari gelar Raja Ya Sangun Ratu.Pertama masuk pulau ini, rombongan Pangeran Sangun Ratu mendiami lamban balak di Pekon Lok. Mereka membuka kebun di kampung ini.

Pengembangan juga terjadi di pulau ini. Orang-orang pertama Pulau Pisang kemudian membangun empat pekon lagi: Bandardalam, Labuhan, Sukadana, dan Sukamarga. Akhirnya, pada 17 September 1922, Pulau Pisang mendapat otonomi dan berhak menyandang status marga sendiri, marga Pulau Pisang, yang lepas dari keturunan mereka di Olokpandan. Saibatin Way Sindi saat itu, Mohammad Djapilus gelar Dalom Simbangan Ratu yang memberi kuasa itu. Ia menunjuk Muhammad Fadel gelar Raja Kapitan sebagai saibatin marga Pulau Pisang yang pertama.

Tentang Pulau Pisang

Banana Island atau Pulau Pisang adalah sebuah pulau kecil di Laut Krui, Pesisir Barat. Pulau yang menghadap ke kota Krui adalah sekitar 285 km dari Bandar Lampung, dan hanya sekitar 45 menit dengan kapal nelayan dari dermaga Krui, dan sekitar 15 menit dari Tembakak Desa. Tembakak Desa adalah sebuah kota kecil di daratan Sumatera, yang terletak tepat di "buritan" dari pulau itu.

Pulau Pisang pulau kecil, hanya sekitar 2.310 hektar luas, dengan sekitar 1.000 penduduk. Pulau yang melahirkan seorang kriteria dari sebuah pulau kaya di masa lalu kini hampir desolated. Ribuan orang telah pindah ke daratan Sumatera atau Jawa sejak tahun 80-an. Eksodus ini membuat lebih tenang pulau.

Pulau Pisang adalah sebuah pulau yang menarik untuk rekreasi pulau dan lain-lain kegiatan pantai terkait. Pulau ini indah dan pantai yang luar biasa. Di pulau ini, pengunjung dapat berjemur, berenang, kano, berlayar, menyelam, memancing, dan tentu saja memotret. Surfing tidak begitu baik di pulau ini, meskipun beberapa surfing keluar beberapa kali. Jangan berharap bahwa Anda bisa mendapatkan banyak pisang dari pulau itu karena orang-orang pulau biasanya pergi ke daratan untuk membeli pisang.